“Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
(Q.S. At-Tin : 4)
Tak bisa dipungkiri setiap orang pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan. Bah, seperti uang logam yang mempunyai dua permukaan yang berbeda. Orang yang memiliki kekurangan selalu merasa bersedih dan perbuatan yang dia lakukan serba salah. Melakukan ini salah, melakukan itu salah. Dia selalu mengeluh dan mengeluh tetapi dia tidak pernah mau belajar untuk memperbaiki diri. Keluhannya menutupi semangatnya dalam mencari ilmu. Akhirnya dia jatuh pada penderitaan yang berkepanjangan.
Orang yang mempunyai akal yang disandarkan pada Al-Qur’an pasti sadar bahwa dirinya hadir di dunia telah melalui suatu perlombaan yang sangat sengit. Sekitar tiga ratus juta sel sperma saling berebut untuk dapat membuahi sel ovum, namun hanya satu yang berhasil dibuahi, yaitu dirinya. Ya, kita yang hadir di dunia ini adalah para juara sejati yang telah melewati seleksi alamiah. Namun, sedikit dari kita yang menyadari akan hal itu.
Penjelasan di atas termaktub dalam firman Allah Swt. yang artinya :
“Bukankah Dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya. Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan”. (Q.S Al-Qiyaamah : 37-39)
Kita harus yakin bahwa kita bisa melakukan apa yang bisa dilakukan oleh orang lain. Hanya saja, antara 1 individu dengan lainnya berbeda dalam menerima dan menafsirkan ilmu yang didapat. Ada yang pandai di bidang matematika, sedangkan yang lain pandai di bidang sastra. Inilah kelebihan dan kekurangan yang diberikan Allah Swt. kepada setiap insan manusia. Sebagaimana termaktub dalam firman-Nya yang artinya :
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
(Q.S At-Tiin : 4)
Para ilmuwan kenamaan, seperti Howard Gardner dan Thomas Amstrong telah mulai merumuskan kecerdasan manusia. Karena pada hakekatnya setiap manusia memiliki kecerdasan yang mungkin berbeda antara satu dengan yang lain. Les Giblin menulis dalam sebuah buku berjudul “Skill with People” tentang urutan daya rekam seseorang. Les berkata, “Seseorang mampu merekam 90% dari data yang dikatakan dan dialaminya, 70% dari apa yang dikatakannya, 50% dari apa yang didengar dan dilihat, 30% dari apa yang dilihat, 20% dari apa yang didengar saja. Sedangkan dengan hanya membaca, seseorang hanya mampu merekam 10%”. Oleh karena itu, dalam berdiskusi itulah sesungguhnya pikiran kita terus diasah, untuk digerakkan dalam berpikir lebih dalam. Dari sinilah ilmu pengetahuan akan berkembang.
Islam telah mengajarkan hendaknya kaum Muslimin itu berpikir kritis, Al-Qur’an sendiri menolak kebiasaan “membeo” tanpa sungguh-sungguh merenungkan dan menggali lebih dalam atas apa yang ia ikuti. Menurut Sayydina Ali, menerima kebenaran dan menemukan kebenaran adalah sesuatu yang berbeda. Menerima kebenaran cukuplah dengan bertaqlid, sedang menemukan kebenaran hanya akan diperoleh dari pemikiran yang mendalam. Sayyidina Ali pernah berkata, “Jangan kamu mengenal dan mengikuti kebenaran karena tokohnya, tetapi kenali kebenaran itu sendiri niscaya kamu akan menemukan tokohnya”.
Allah Swt. berfirman yang artinya :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (Q.S Al-Isra : 36)
Kita akhirnya menyadari dengan potensi yang telah Allah Swt. berikan kepada kita. Bakat dan ketrampilan yang kita miliki, menjadikan kita menjadi diri kita sendiri. Yakin dengan diri kita sendiri. Percaya diri bahwa di dunia ini, semua manusia di pandang sama dan sederajat. Siapa yang menyangka seorang bekas budak berkulit hitam legam, yaitu Bilal menjadi muadzin pertama yang mengumandangkan adzan dan menjadi salah seorang sahabat kesayangan Rasulullah Saw. Bahkan Rasulullah mendengar suara terompah Bilal di surga! Subhanaullah.
Banyak sekali contoh perbedaan karakter yang dimiliki dikalangan para sahabat Rasulullah. Ada yang ahli memanah seperti Sa’ad bin Abi Waqqash, ada yang ahli strategi perang seperti Khalid bin Walid, ada yang ahli membuat syair seperti Hisan bin Tsabit, ada yang menjadi negarawan seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, dan sebagainya. Seorang penulis bernama Khalid Muhammad Khalid telah menulis buku yang sangat bagus berjudul “60 Karakteristik Sahabat Nabi”. Rasulullah Saw. ternyata toleran dalam melihat beragamnya karakter yang dimiliki para sahabat. Justru dengan keberagaman itu, beliau satukan menjadi sebuah kekuatan yang sangat dahsyat sehingga mampu menyebarkan dakwah Islam hingga ke luar jazirah Arab sehingga menghasilkan peradaban yang menguasai peradaban dunia pada waktu itu.
Jika kita menyadari kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri kita. Kita sanggup menutup kekurangan-kekurangan itu dengan meningkatkan kemampuan yang kita miliki. Tetapi, penting kita sadari bersama bahwasanya makhluk ciptaan Allah Swt. tidak terlepas dari yang namanya sifat ketidaksempurnaan meskipun sebesar zahra.
Sebagai contoh, segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia selalu saja ada kekurangannya. Allah-lah yang menciptakan kekurangan tersebut agar manusia tidak sombong, namun Allah Swt. pula yang menghargai setiap kesalahan kita dalam proses berijtihad dengan memberikan kita satu pahala. Menunggu menjadi sempurna sama dengan menunggu diri kita menjadi Tuhan. Jika kita gagal mendarat di bulan, kita dapat mendarat di salah satu bintang. Bagaimana dengan mereka yang gagal?, mereka tidak mau mengakui bahwa dirinya mempunyai kelebihan sekaligus kekurangan justru mereka menganggap bahwa dirinya sudah tak berguna lagi. Sugguh sangat disayangkan sikap orang seperti ini.
Sedikit saya akan membeberkan kepada anda rahasia kaum yang mengatakan bahwa dirinya adalah bangsa pilihan Tuhan, yaitu Bangsa Yahudi. Bangsa ini memiliki kecerdasan luar biasa dibanding bangsa lain. Rahasia ini saya akan beberkan sebelum saya menunjukkan kegigihan para pelajar kaum muslimin di era kejayaan peradaban Islam. Karena sesungguhnya metode pembelajaran yang digunakan Bangsa Yahudi dan Kaum Muslimin di era kejayaan Islam sangatlah perlu diterapkan dalam meningkatkan kemampuan kita.
a. Bangsa Yahudi
Bila kita renungkan sejenak, golongan manakah yang banyak menghasilkan penemuan spektakuler dalam bidang teknologi, kedokteran, politik, ekonomi, sosial dan bidang keilmuan lainnya? Tentu yang muncul di benak kita adalah Bangsa Yahudi. Tanpa bermaksud menafikan bangsa lain, memang Yahudilah yang dikenal sebagai produsen berbagai penemuan yang spektakuler. Produk seperti internet, google, yahoo, nokia, blackberry, facebook, nuklir dan berbagai penemuan revolusioner lainnya, yang semuanya merupakan produk Yahudi yang sangat bermanfaat dalam kemajuan peradaban dan teknologi seluruh bangsa di dunia. Bangsa Yahudi sejak dahulu dikenal sebagai bangsa cerdas yang sangat produktif dalam berbagai penemuan yang bermanfaat bagi manusia.
Pernahkah anda mendengar nama Albert Einstein? Kecerdasan tokoh fisikawan yang dikenal dunia ini telah mempengaruhi miliaran manusia di muka bumi sebagai tokoh pertama yang menemukan teori relativitas yang banyak menyumbang bagi pengembangan mekanika kuantum, mekanika statistik, dan kosmologi. Lalu siapakah Einstein sebenarnya? Jawabannya adalah orang Yahudi.
Selain dari realita yang disebutkan diatas, kecerdasan orang yahudi juga mendapat justifikasi dari berbagai kitab suci agama di dunia ini tak terkecuali Al-Qur’an. Dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa Allah ta’ala telah menjadikan bangsa mereka memiliki kelebihan diatas rata-rata manusia. Telah dijelaskan dalam firman-Nya yang artinya :
“Hai bani israel, ingatlah akan ni’mat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat”. (Q.S Al-Baqarah : 47)
Dari paparan penjelasan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa kecerdasan Bangsa Yahudi bukanlah sebuah mitos atau semata-mata takdir Tuhan. Kecerdasan yang mereka miliki tidak tiba-tiba muncul tanpa ada sebab ilmiah. Sebab, pada dasarnya setiap bangsa dan manusia manapun di dunia ini memiliki potensi yang sama yang diberikan oleh Allah ta’ala dalam semua sektor tak terkecuali sisi kecerdasannya. Usaha manusialah yang bisa membedakan nasib, kecerdasan, dan kemampuan antara satu dengan yang lainnya.
Allah Swt. berfirman yang artinya :
“Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehinga kaum tersebut mengubahnya dirinya sendiri”. (Q.S Al-Rad : 11)
Menurut penelitian Dr. Stephen Carr Leon, seorang yang menjalani housemanship selama tiga tahun di beberapa rumah sakit di Israel, kecerdasan yang dimiliki oleh Bangsa Yahudi telah dibentuk secara turun-temurun bahkan sejak masa sebelum mengandung. Bangsa Yahudi sejak dahulu kala telah memiliki tradisi yang memprioritaskan improvisasi kecerdasan keturunan mereka. Doktrin rasisme yang telah ditanamkan dalam diri tiap generasi mengharuskan mereka untuk tidak mengambil keturunan selain dari sesama Yahudi yang memiliki kecerdasan seperti mereka.
Disamping menjaga genetika mereka, bangsa Yahudi juga memiliki tradisi pembinaan otak sejak masa pra-kelahiran. Sejak masa kandungan, para orangtua Yahudi telah terbiasa memberikan pendidikan terhadap janin mereka dengan aktivitas rutin berupa kebiasaan mendengarkan serta bermain musik dan mengerjakan soal-soal matematika yang terus berlanjut sampai masa pasca-kelahiran bahkan sampai sang anak tumbuh dewasa. Disamping itu, mereka juga sangat menjaga makanan yang masuk ke tubuh mereka. Menu makanan mereka merupakan menu pilihan yang telah terbukti dapat memacu kecerdasan mereka serta keturunan mereka.
Bangsa Yahudi juga sangat menjaga diri serta keluarga mereka dari barang-barang yang berpotensi dapat merusak kecerdasan mereka. Barang-barang seperti minuman keras, nikotin, maupun rokok merupakan hal yang tabu bagi mereka. Orang yahudi tidak akan segan-segan untuk mengusir siapapun yang nekat merokok di sekitar rumah mereka. Bangsa Yahudi juga memiliki solidaritas yang tinggi terhadap saudara mereka. Pantang bagi seorang Yahudi untuk merokok di tempat umum. Bahkan apabila seorang Yahudi perokok melihat ada seorang wanita hamil di jalan raya, ia akan segera menghentikan aktivitasnya tersebut meskipun ia tak mengenalnya. Satu fenomena yang sangan mengesankan di kalangan Yahudi, seorang pecandu rokok akan segera berhenti total ketika mengetahui istrinya mengandung, hal itu terus berlanjut sampai sang anak berusia 7 tahun. Itupun biasanya mereka merasa malas untuk menghisap rokok lagi.
Dalam dunia akademis, Bangsa Yahudi memiliki kurikilum pendidikan serta konsep belajar yang sistematis serta selalu dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Pelajar Yahudi tidak hanya dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan secara teoritis, mereka bahkan dituntut untuk memiliki penemuan baru sejak mereka masih duduk dalam bangku sekolah dasar. Prinsip selalu bertanya dan kritis dalam belajar, serta tidak pernah menganggap mutlak teori yang ada, memotivasi mereka untuk selalu melakukan penelitian dan penemuan terbaru yang jauh lebih sempurna. Segala tradisi dan aktivitas yang dilakukan oleh bangsa yahudi diprioritaskan untuk menghasilkan generasi yang benar-benar cerdas dan aktif serta produktif. Orang Yahudi akan sangat malu jika memiliki keturunan yang bodoh atau memiliki kecerdasan rata-rata standar bangsa non-Yahudi.
b. Kaum Muslimin di Era Kejayaan Peradaban Islam
Kecerdasan yang dimiliki oleh orang-orang yahudi bukanlah semata-mata takdir dan karunia Tuhan. Lebih dari itu, kecerdasan yang mereka miliki adalah hal yang rasional dan melalui proses yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Bahkan bangsa manapun selain Yahudi memiliki potensi yang sama untuk memiliki kecerdasan seperti yang mereka miliki. Namun, yang mungkin tak terpikirkan oleh kita, ternyata rahasia kecerdasan orang Yahudi tersebut telah diajarkan oleh agama Islam bahkan sempat dipraktekkan oleh kaum muslimin selama beberapa abad!!!
Sebagai bukti real, umat Islam juga memiliki tradisi mendidik anak mereka bahkan sebelum mereka berada di kandungan. Dalam ajaran Islam, seorang ayah memiliki kewajiban untuk mencarikan ibu yang baik bagi calon anaknya begitu juga sebaliknya. Dalam masa kehamilan, Jika bangsa Yahudi merangsang kecerdasan janinnya dengan mendengarkan dan bermain musik, orangtua muslim memembacakan untuk jabang bayi mereka ayat-ayat suci Al Qur’an yang jauh lebih berpengaruh terhadap kecerdasan janin.
Konsep pendidikan Islam bahkan lebih unggul dari pendidikan Yahudi, jika bangsa Yahudi hanya menitikberatkan pendidikan pada kecerdasan intelektual atau intellectual quotient (IQ), sistem pendidikan Islam memberikan perhatian lebih terhadap kecerdasan emosional atau emotional quotient (EQ) dan kecerdasan spiritual atau spiritual quotient (SQ). Implikasinya, generasi kaum muslimin memiliki variasi kecerdasan yang lebih unggul dari generasi Yahudi. Pelajar muslim tidak hanya memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, tetapi juga memiliki akhlak dan kepribadian yang sholeh.
Pernakah anda mendengar nama Ibnu Hajar? Beliau adalah seorang ulama besar madzhab Syafi’i, diberi gelar oleh ketua para qadhi, Syaikhul Islam, Al-Hafizh Al-Muthlaq (seorang hafizh secara mutlak), Amirul Mukminin dalam bidang hadist. Julukan beliau adalah Syihabuddin dengan nama pangilan (kunyah-nya) Abu Al-Fadhl. Beliau juga dikenal dengan nama Abul Hasan Ali dan lebih terkenal dengan nama Ibnu Hajar Nuruddin Asy-Syafi’i. Guru beliau, Burhanuddin Ibrahim Al-Abnasi memberinya nama At-Taufiq dan sang penjaga tahqiq.
Dahulu, Ibnu Hajar adalah seorang santri yang bodoh. Beliau belajar kepada kyainya sampai beberapa tahun, namun ia belum juga bisa membaca dan menulis, hingga akhirnya diapun berputus asa. Ia pun mohon diri kepada kyainya supaya diperbolehkan pulang. Dengan berat hati sang kyai memperbolehkan Ibnu Hajar pulang, tapi beliau berpesan supaya jangan berhenti belajar sesampainya di rumah. Akhirnya Ibnu Hajar pulang ke rumahnya. Di tengah perjalanan, hujan turun dengan lebat, ia terpaksa berteduh dalam sebuah gua. Oleh karena hujan tak kunjung reda, ia pun memutuskan masuk lebih dalam ke gua sehingga dapat berteduh di dalamnya. Pada saat itulah terdengar suara gemericik. Oleh karena penasaran, ia mendatangi sumber suara tersebut. Ternyata sumber suara itu berasal dari gemericik air yang menetes pada sebongkah batu yang sangat besar. Batu besar itu berlubang karena telah bertahun-tahun terkena tetesan air. Melihat batu yang berlubang tersebut, akhirnya Ibnu Hajar merenung. Ia berpikir, batu yang besar dan keras ini lama-lama berlubang hanya karena tetesan air ini. Kenapa aku kalah dengan batu? Padahal akal dan pikiranku tidak sekeras batu, berarti aku kurang lama belajar.
Setelah berpikiran demikian akhirnya Ibnu Hajar tidak jadi pulang, ia memutuskan untuk kembali ke pondok. Semangatnya kembali tumbuh untuk belajar kepada kyainya. Akhirnya, Ibnu Hajar kembali ke pondok, ia ingin belajar lebih lama dan lebih tekun. Di pondok ia belajar dengan tekun dan rajin serta tidak mengenal putus asa. Usaha tersebut tidak sia-sia. Ia menjadi orang alim, bahkan dapat mengarang beberapa kitab. Sungguh perjuangan dan usaha yang sangat luar biasa yang ditunjukkan oleh Ibnu Hajar kepada para pemuda yang sedang menuntut ilmu untuk tidak berputus asa dalam mencari ridho Allah.
Dari semua paparan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya seorang manusia yang terlahir ke dunia ini telah mempunyai 2 bekal. Dari keduanya akan mengantarkan manusia ke arah yang baik atau buruk. Tergantung bagaimana individu itu menyikapi kedua bekalnya, yaitu kelebihan dan kekurangan. Allah Swt. memberikan bekal itu kepada setiap makhluk ciptaannya guna untuk selalu mengingatnya. Bahwa sesungguhnya tidak ada makhluk yang sempurna, kecuali Allah ta’ala.
Ada begitu banyak cara manusia memulai, melanjutkan, dan mengakhiri hidupnya. Ada dengan menjalankan kehidupan yang biasa saja, dengan falsafah “air yang mengalir”, meskipun dengan pemaknaan yang berbeda-beda ada yang menggunakan perumpamaan “air selalu bisa melubangi batu”, sebuah gambaran dari kerja keras. Dengan demikian, jika hidup bukan hal yang biasa maka manusia lain akan selalu memandang hidup sebagai sebuah anugerah yang luar biasa.
Sebuah anugerah yang luar biasa seharusnya tidak disia-siakan begitu saja, dengan menerima nasib apa adanya. Mengutip kembali, firman Allah Swt. yang artinya :
“Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sehinga kaum tersebut mengubahnya dirinya sendiri”. (Q.S Al-Rad : 11).
Oleh karena itu, perubahan selalu membutuhkan sebuah kesadaran dan mimpi tentang perubahan yang diinginkan. Tentu saja agar perubahan menuju pada sesuatu yang lebih baik dari kondisi yang sekarang.
“Kemenangan bukanlah segala-galanya, tetapi perjuangan
untuk menang adalah segala-galanyai”.
[Vince Lombardi]
“Ujian bagi seseorang yang sukses atau menang bukanlah pada
kemampuannya untuk mencegah masalah, tetapi pada waktu
menghadapi dan berani menyelesaikan setiap kesulitan saat masalah itu terjadi”.
[David J.Schwartz]
sumber : https://www.facebook.com/notes/rahmat-kurniawan-al-ayyubi/kelebihan-kekurangan-selalu-berjalan-lurus/543200229052292/
0 komentar:
Posting Komentar